Sabtu, 27 September 2008

Bioetanol Dari Pisang

Pisang batu pun berpotensi sebagai bahan baku seperti dibuktikan oleh Ir Sidik Omar.membuat bioetanol berbahan baku pisang batu. Ide itu muncul lantaran ia terbiasa membikin wine pisang. Maka jadilah ia membuat bioetanol pisang batu berkadar 30-40%. Produksinya memang masih kecil, 2,4 liter per hari dari 1 kg pisang.

Selama ini pisang batu muda paling banter hanya dimanfaatkan sebagai bahan baku rujak. Pekebun menanam pisang batu lebih memilih untuk memetik daun ketimbang buah. Menurut Omar biaya produksi bioetanol pisang mencapai Rp3.700 per kg. Yang menggembirakan baginya, suku cadang yang dibersihkan dengan bioetanol pisang lebih bagus hasilnya.

'Cat melekat lebih kuat dan warna lebih cerah,' kata ayah 3 anak itu. Pantas bila enam pengusaha suku cadang minta pasokan bioetanol pisang secara rutin. PT Multicamp dan PT Sanwa masing-masing meminta pasokan 500-600 liter per pekan. Tentu saja pria kelahiran 9 September 1955 itu bungah. Oleh karena itu ia tengah membangun pabrik bioetanol. Pada Oktober 2008, pabrik berkapasitas 600 liter berhari beroperasi.

Kreativitas acap muncul justru ketika tekanan begitu berat. Itulah yang terjadi kini. Saat minyak bumi langka sehingga harga kian terkerek, para produsen bahan bakar nabati mengolah beragam limbah: jelantah, sampah, nyamplung, dan pisang batu sebagai sumber energi. Bahan baku tersedia, ramah lingkungan, kinerja mesin membaik, dan yang penting pasar pun terbuka.
Sumber: Trubus

Senin, 08 September 2008

Makhluk Mini Pengisi Tangki

Alga Chlorella menjadi alternatif bahan baku biopremium setelah komoditas nira, singkong, atau sorgum yang lebih dulu sohor. Selain alga, semua bahan baku bioetanol itu lazim dikembangkan di lahan luas dan subur. Dibanding sumber nabati lain, alga paling ekonomis menghasilkan bioetanol. Musababnya, ganggang hijau itu kaya karbohidrat, tak memerlukan perawatan khusus, dan mudah tumbuh.

Chlorella termasuk alga mikro karena ukuran tubuhnya sangat renik dari 0,2 µm hinga 0,02 cm (10-6 - 10-4 m). Untuk melihat wujudnya dengan jelas kita memerlukan mikroskop. Tidak semua jenis alga mikro hidup sebagai fitoplankton, tetapi semua jenis fitoplankton bisa digolongkan ke dalam alga mikro. Tumbuhan mikroskopis bersel tunggal dan berkoloni itu terdiri atas 30.000 spesies. Habitatnya di atas permukaan air, di kolom perairan, atau menempel di dasar dan permukaan lain dalam perairan.

Dari penelitian sejak 2007 di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, membuktikan tumbuhan bersel satu itu mampu menghasilkan bioetanol. Anggota famili Chlorophyeceae itu kaya karbohidrat yang penting dalam pembuatan bioetanol. Kadar karbohidratnya 29-31% setara karbohidrat dalam singkong. Singkong berkadar pati 23% sehingga untuk menghasilkan seliter bioetanol perlu 6,5 kg. Dengan bahan baku Chlorella sp, jumlah biopremium yang dihasilkan 100 kali lipat, karena pemanenan dapat dilakukan berkali-kali.

Tumbuh cepat

Walau ukurannya sangat mikroskopis, Chlorella tetap memiliki zat hijau daun berupa pigmen kloroplas dalam tubuhnya. Pigmen itulah yang menyebabkan ia bisa melangsungkan proses fotosintesis. Fotosintesis berlangsung dalam jaringan tilakoid lantaran ia tanpa memliki daun. Jaringan itu berperan pula sebagai penghubung antarkloroplas. Karena berfotosintesis, maka organisme yang hidup di atas permukaan air itu juga mampu menghasilkan karbohidrat.

Dibandingkan tumbuhan tingkat tinggi, pertumbuhan alga jauh lebih cepat sekitar 10-20 kali lipat. Itu akibat dari mekanisme fisiologisnya yang jauh lebih efektif. Tidak seperti tumbuhan multiseluler yang menyerap air dan unsur hara melalui akar, tumbuhan bersel satu yang hidup di air tawar itu menyerap nutrisi melalui permukaan tubuhnya. Caranya dengan mekanisme difusi-osmosis. Mekanisme itu berlangsung karena adanya perbedaan konsentrasi zat terlarut.

Mengkultivasi atau membudidayakan Chlorella dalam skala rumahan sangat memungkinkan. Sebab, masyarakat pesisir lazim mengembangkan plankton sebagai pakan udang. Plankton salah satu jenis mikro alga. Dalam skala industri, kultivsi alga dilakukan di dalam biorekator berbahan akrilik. Diameter bioreaktor 20 cm dan tinggi 1,5 mter. Dari hasil penelitian, posisi bioreaktor sebaiknya vertikal. Tujuannya supaya semua bagian alga bisa melakukan fotosintesis.

Cara itu juga bisa menghemat tempat sampai 16 kali lipat, dibandingkan diletakkan secara horizontal. Bioreaktor sebaiknya tertutup untuk mencegah kontaminasi. Untuk skala rumahan stoples memadai sebagai wadah kultivasi. Bahan lain memungkinkan sepanjang tembus sinar matahari, sehingga ganggang bisa tumbuh sempurna. Bibit alga antara lain dapat diperoleh di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
Keperluan bibit hanya 10%.

Jika air 100 liter berarti 10 liter bibit. Produsen hanya perlu bibit asal air bersih tanpa kontaminasi. Namun, jika air kotor berikan vitamin. Enam hari kemudian, alga berbiak sehingga seluruh bioreaktor terisi alga. Karena laju pertumbuhannya sangat cepat, maka pemanenan pun bisa dilakukan dalam waktu singkat. Hanya dalam 7-15 hari, mikroalga sudah bisa dipanen.

Ramah lingkungan

Chlorella yang siap panen berubah warna dari hijau menjadi hijau kecokelatan. Bandingkan dengan bahan baku biopremium lain yang membutuhkan waktu panen antara 9 bulan-3 tahun. Keuntungan lain? Panen bisa dilakukan berkali-kali dalam waktu singkat. Jadi hasil akhirnya jauh lebih banyak.

Untuk memanen, tinggal menyaring dengan ukuran mesh 0,2 mikron. Alga itu lantas dievaporasi selama 5 menit untuk menguapkan air. Begitu dingin, tambahkan ragi Sacharomyces cereviceae pemecah karbohidrat menjadi gula. Selain itu tambahkan sedikit gandum sebagai pakan ragi.

Fermentasi selam 3 hari menghasilkan cairan mirip wine berkadar alkohol 5%. Pada cairan itu tambahkan enzim alfa amilase untuk memecah glukosa menjadi alkohol. Hasilnya 20-30% bioetanol. Selama pengolahan alga menjadi bioetanol, menghasilkan ampas berkadar protein tinggi sebagai pakan ternak.

Memanfaatkan alga mikro untuk bahan baku bioetanol sangat ramah lingkungan. Sebab, tak menyebabkan polusi dan aplikatif. Keuntungan lain alga mikro mampu menyerap karbondioksida dan mengkonversikannya menjadi oksigen. Sebanyak 90% dari bobot kering alga mikro menyerap karbondioksida sehingga mampu mengurangi gas itu sampai 1.000 ton/ha/tahun.

Dengan berbagai keistimewaan itu, alga salah satu komoditas potensial sebagai bahan baku biopremium. Ukuran boleh kecil, tetapi faedahnya amat besar. Masa kultivasi singkat, hanya sepekan, tak perlu lahan luas, pengolahan sederhana, dan ramah lingkungan. (Ir Mujizat Kawaroe MSc, dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor serta periset di Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi).

Sumber: di copy dari trubus

Selasa, 08 Juli 2008

Production process of ethanol

The basic steps for large scale production of ethanol are: microbial (yeast) fermentation of sugars, distillation, dehydration ,and denaturing (optional). Prior to fermentation, some crops require saccharification or hydrolysis of carbohydrates such as cellulose and starch into sugars. Saccharification of cellulose is called cellulolysis . Enzymes are used to convert starch into sugar.

Fermentation

Ethanol is produced by microbial fermentation of the sugar. Microbial fermentation will currently only work directly with sugars. Two major components of plants, starch and cellulose, are both made up of sugars, and can in principle be converted to sugars for fermentation. Currently, only the sugar (e.g. sugar cane) and starch (e.g. corn) portions can be economically converted. However, there is much activity in the area of cellulosic ethanol, where the cellulose part of a plant is broken down to sugars and subsequently converted to ethanol.

For more information about fermentation please visit homedistiller

Distillation

For the ethanol to be usable as a fuel, water must be removed. Most of the water is removed by distillation, but the purity is limited to 95-96% due to the formation of a low-boiling water-ethanol azeotrope. The 95.6% m/m (96.5% v/v) ethanol, 4.4% m/m (3.5% v/v) water mixture may be used as a fuel alone, but unlike anhydrous ethanol, is immiscible in gasoline, so the water fraction is typically removed in further treatment in order to burn with in combination with gasoline in gasoline engines.

To study distillation basic please visit this site, more specific about distillation by M.T. Tham

Dehydration

There are basically three dehydration processes to remove the water from an azeotropic ethanol/water mixture. The first process, and also the most used one, is called azeotropic distillation, and consists of adding benzene or cyclohexane to the mixture.

When these components are added to the mixture, it forms an heterogeneous azeotropic mixture in vapor-liquid-liquid equilibrium, which, when distillated, produces anhydrous ethanol in the column bottom, and a vapor mixture of water and cyclohexane/benzene, which when condensed becomes a two-phase liquid mixture.

The second method, called extractive distillation, consists of adding a ternary component which will increase ethanol relative volatility. When the ternary mixture is distillated, it will produce anhydrous ethanol on the top stream of the column. A third method consists of an adsorption of water into molecular sieves. It is done by passing the stream composed by ethanol and water into a fixed bed made of zeolites as adsorbends, which pores will retain water. Another process involves use of calcium oxide as a desiccant.

Adapted from wikipedia

Sabtu, 05 Juli 2008

Distillation

The distillation is a chemical method to separate substances they were based on differences in its instabilities in a to boil mixes liquid. The distillation forms generally the part of a larger chemical process, and thus is referred to as an operation of unit.

The separation of components of a way liquid mixture the distillation depends on the differences in boiling points of the individual components. Also, depending on the concentrations of the components they present, the mixture liquid will have different characteristics from boiling point. Therefore, the processes of the distillation depends on the characteristics of the liquids mixtures vapor pressure.

The pressure of the vapor of a liquid in a private temperature is the pressure of the equilibrium exercised by molecules that leave and to enter the surface liquid. Here they are some important points with regard to the pressure of vapor:

  1. energy input raises vapour pressure
  2. vapour pressure is related to boiling
  3. the ease with which a liquid boils depends on its volatility
  4. liquids with high vapour pressures (volatile liquids) will boil at lower temperatures
  5. the vapour pressure and hence the boiling point of a liquid mixture depends on the relative amounts of the components in the mixture
  6. distillation occurs because of the differences in the volatility of the components in the liquid mixture

This is the simplified explaination by Tony Ackland (thanks to permission)

When you have a mixture of liquids, each with its own boiling point when pure, then the boiling point of the mix will lie somewhere in the middle, and this will depend on the relative concentrations of each liquid. Pure water boils at 100 deg C, and pure ethanol boils at 78.5 deg C, but a mixture of water and ethanol will boil at some point in between.

The major point about distillation is that when a mixture like that boils, then the vapour given off is richer in the most volatile component, and when that vapour condenses then the resulting liquid has a lower boiling point than the mix it came from. By repeating this boiling and recondensation process up a column, using packing to hold the condensed liquid at each stage, you can separate the components more and more.

So if you have a mixture of liquids each with a different boiling point, then you heat the mixture, it will heat up until the new intermediate boiling point is reached. When you first start a distilling run, the packing in the column will be at room temperature, so vapour given off by the boiler condenses on the first cool packing it reaches. In condensing, the vapour gives up a lot of heat, and this warms that packing until the liquid on it boils again.

However, this liquid is richer in volatiles than the mix in the boiler, so its boiling point is lower. When it does boil again, from the heat given off by more condensing vapour, what you get is even richer in those most volatile components. This process of boiling and condensing continues up the column and, because the condensed liquid is always getting richer in volatiles, the temperature gradually falls the higher you go. The temperature at any point is governed solely by the boiling point of that liquid mix, and any attempt to interfere with that process will disrupt the separation that Nature is carrying out automatically.

In contrast, the boiling point of the mix left in the boiler will very slowly start to rise as it is left with less and less of the most volatile components.

If you started with a mixture (fermented wash) that is mostly water & ethanol, with trace amounts of methanol, propanol, etc. then the net result will be that the most volatile components will tend to rise in greater quantity up the column than their less volatile cousins, and will be found in greatest concentration at the top. This would mean that methanol, the most volatile of the lot, will win the race and you will able to collect it and set it aside.

This continues until you have collected all of the "heads" (components that are more volatile than ethanol), and you can then collect just ethanol with a trace of water. You cannot get rid of that small amount of water, as once you reach a mix of 96.5% ethanol/water, with a boiling point of 78.2 deg C, then you have reached a stable mix that no amount of re-boiling and re-condensation can change (at normal atmospheric pressure).

Once you have collected the main bulk of ethanol, then the components that are less volatile than ethanol, such as propanol and the bigger organic molecules, will start to reach the top, and you will have arrived at the stage called the "tails". These "tails" may be recycled in the next batch you do, for they still contain a lot of ethanol, or a proportion may be retained as they contain many of the compounds that give a spirit a distinctive flavour, like whiskey or rum.

Sabtu, 28 Juni 2008

Fermentasi

Fermentasi adalah proses produksi energi dalam sel dalam keadaan anaerobik (tanpa oksigen). Secara umum, fermentasi adalah salah satu bentuk respirasi anaerobik, akan tetapi, terdapat definisi yang lebih jelas yang mendefinisikan fermentasi sebagai respirasi dalam lingkungan anaerobik dengan tanpa akseptor elektron eksternal.

Gula adalah bahan yang umum dalam fermentasi. Beberapa contoh hasil fermentasi adalah etanol, asam laktat, dan hidrogen. Akan tetapi beberapa komponen lain dapat juga dihasilkan dari fermentasi seperti asam butirat dan aseton.

Ragi dikenal sebagai bahan yang umum digunakan dalam fermentasi untuk menghasilkan etanol dalam bir, anggur dan minuman beralkohol lainnya. Respirasi anaerobik dalam otot mamalia selama kerja yang keras (yang tidak memiliki akseptor elektron eksternal), dapat dikategorikan sebagai bentuk fermentasi.

Reaksi
Reaksi dalam fermentasi berbeda-beda tergantung pada jenis gula yang digunakan dan produk yang dihasilkan. Secara singkat, glukosa (C6H12O6) yang merupakan gula paling sederhana , melalui fermentasi akan menghasilkan etanol (2C2H5OH). Reaksi fermentasi ini dilakukan oleh ragi, dan digunakan pada produksi makanan.

Persamaan Reaksi Kimia
C6H12O6 → 2C2H5OH + 2CO2 + 2 ATP (Energi yang dilepaskan:118 kJ per mol)

Dijabarkan sebagai
Gula (glukosa, fruktosa, atau sukrosa) → Alkohol (etanol) + Karbon dioksida + Energi (ATP)

Jalur biokimia yang terjadi, sebenarnya bervariasi tergantung jenis gula yang terlibat, tetapi umumnya melibatkan jalur glikolisis, yang merupakan bagian dari tahap awal respirasi aerobik pada sebagian besar organisme. Jalur terakhir akan bervariasi tergantung produk akhir yang dihasilkan.
Sumber: Teks sesuai aslinya dari wikipedia, gambar

Selasa, 24 Juni 2008

Bioetanol Anti Tumpah

Pukul 11.00 WIB menjelang makan siang. Tibalah saatnya bagi Gina untuk memasak. Alih-alih mengambil korek api untuk menyalakan kompor, ia malah meraih sendok dan sebuah wadah plastik. Diambilnya 2 sendok makan jeli berwarna krem dari wadah plastik. Jeli itu diletakkan di tabung seng dan disulut api. Seketika api menyala biru. Begitulah cara perempuan 26 tahun itu memasak. Dengan jeli ia tak perlu antre untuk memperoleh minyak tanah.

Jeli itu adalah bioetanol yang dipadatkan. Bagi ibu rumahtangga, bioetanol jeli amat praktis. Mereka tak perlu khawatir bahan bakar itu tumpah lantaran bentuknya padat. Selain itu, 'Bioetanol jeli tak membuat wajan atau panci menghitam. Nyala apinya juga biru,' katanya. Jeli bahan bakar itu mengandung bioetanol berkadar 70%. Ide jeli itu dibuat oleh Ir Himawan, produsen bioetanol di Cilegon, Provinsi Banten.



Menurut alumnus Teknik Kimia Universitas Diponegoro penggunaan jeli bioetanol lebih hemat. Hasil risetnya membuktikan daya bakar 200 gram bioetanol jeli setara 1 liter minyak tanah. Pantas bila Gina mengambil 2 sendok bioetanol jeli cukup untuk memasak selama 5 menit. Sudah hemat, nyala api biru, bioetanol jeli juga tidak menimbulkan asap dan jelaga.



Mudah dibawa
Menurut Dr Arief Yudiarto, peneliti Balai Besar Teknologi Pati, di Lampung, sah-sah saja bioetanol dibuat menjadi jeli. 'Bentuk jeli mudah dibawa saat bepergian seperti camping atau untuk tentara yang bertugas di hutan. Itu karena tidak mudah tumpah,' ujar Arief. Menurut alumnus Tokyo University of Agriculture and Technology itu, bioetanol jeli tak mudah terbakar dan awet.


Di luar negeri bioetanol jeli dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar terutama kayu sejak 2007. Berdasarkan data World Health Organization (WHO), di negara berkembang, asap dari kayu bakar mengakibatkan penyakit paru-paru akut. Dampaknya sebayak 1,5 juta wanita dan anak-anak per tahun meninggal dunia. Karena itu di Johannesburg, Afrika Selatan, bioetanol jeli marak dikembangkan.


Himawan mengembangkan bioetanol jeli dari bioetanol apkir, yakni yang berbau, warna kekuningan, dan kadar di bawah 96%. Yang terpenting titik bakarnya tidak kurang dari 40%. Untuk membuat bioetanol jeli perlu gelling agent-pengental-berupa tepung seperti kalsium asetat agar bercampur homogen. Pengental lain yang dapat digunakan antara lain xanthan gum, carbopol EZ-3 polymer, dan berbagai material turunan selulosa.


Dosis kalsium asetat untuk bahan campuran cukup 1-5%. Kalsium asetat berbentuk tepung itu lalu diencerkan dengan air sebanyak 20% dari jumlah bioetanol. Selanjutnya dicampur etanol berkadar 70-85%. Rasio antara pengental dan bioetanol perbandingannya 1:7. Setelah itu ditambahkan 5% natrium hidroksida sebagai penyeimbang pH agar tingkat keasaman 5-6. Saat menambahkan natrium hidroksida kecepatan aduk ditingkatkan 2 kali lipat. 'Untuk membuat 200 g gel kecepatan aduk berkisar 2.500 rpm. Semakin besar jumlahnya, kecepatan ditambah agar hasil homogen,' kata Himawan. Dalam beberapa menit bioetanol sudah menjadi gel.
Kompor baru
Menurut Sugeng Harjono, direktur pemasaran PT Bio Green Inotech, biaya produksi bioetanol jeli itu Rp3.250-Rp3.500 per liter. Itu lantaran harga bioetanol hanya Rp3.000/l. Bila ditambah biaya kemasan, bioetanol gel dapat dijual Rp4.000/l. Biaya pembuatan bioetanol jeli itu lebih murah ketimbang harga bahan bakar minyak. Apalagi sejak Mei 2008 harga minyak melonjak Rp7.000/l lantaran subsidi dicabut.

Namun, pemakai bioetanol jeli harus membeli kompor baru. 'Prinsipnya, kompor bioetanol jeli itu mirip kompor konvensional. Bedanya ruang untuk sumbu diganti dengan tempat menaruh gel. Sayang, saat ini kompor ujicoba masih untuk wajan berdiameter 30 cm. Saat api padam, wajan harus diangkat untuk ditambahkan jeli. 'Saat menambahkan api harus benar-benar mati,' kata Himawan. Oleh karena itu agar jangkauannya luas, tak hanya untuk kebutuhan rumahtangga, kompor dirancang untuk industri kecil seperti pembuatan keripik. 'Paling-paling harga jual berkisar Rp15.000/kompor, tergantung ukuran,' kata Himawan. (Lastioro Anmi Tambunan)

Sumber: di copy sesuai aslinya dari majalah trubus

Senin, 16 Juni 2008

Teori Destilasi

Distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan sehingga menguap, dan uap ini kemudian didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan.

Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini merupakan termasuk unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponen akan menguap pada titik didihnya.

Berikut ini adalah informasi tentang proses distilasi yang merinci secara lebih detail

Teori destilasi oleh mike nixon

Teori distilasi dari university of akron

Sumber : wikipedia

Minggu, 01 Juni 2008

Sampah di Tangki Bensin

Lahan seluas dua kali lapangan voli itu tak terurus. Ilalang tumbuh di seluruh permukaan tanah. Sepintas gulma itu tak berfaedah. Padahal, Imperata cylindrica itu amat potensial sebagai bahan baku biopremium pengisi tangki kendaraan bermotor.

Ilalang untuk premium? Menurut Dr Tatang H Soerawidjaja dari Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung, ada 3 kelompok bahan penghasil etanol alami yaitu nira bergula, pati, dan bahan serat alias lignoselulosa. Semua bahan baku etanol itu mudah didapatkan dan dikembangkan di Indonesia yang memiliki lahan luas dan subur.

Dibanding dengan sumber nabati lain, ilalang paling ekonomis menghasilkan bioetanol. Musababnya, ilalang kaya lignoselulosa, tak memerlukan perawatan khusus, dan mudah tumbuh. Bahan baku lain: limbah organik sisa panen, limbah pengolahan pertanian, kotoran ternak, limbah pertamanan, dan sampah kota.

Hasil penelusuran Tatang, limbah pertamanan kota yang potensial antara lain serasah, rumput, ranting dan daun pepohonan. Sedangkan limbah hasil pertanian yang bisa digunakan meliputi, sekam, tongkol jagung dan klobot jagung, serta rendaman hangat jagung (corn steep liquor). Selain itu, batang daun, ampas, dan tetes tebu, batang dan daun tua singkong, buah dan kulit mete, kulit dan biji jeruk, cangkang dan poros buah nanas, bagas. 'Dengan begitu, produksi bioetanol, tak perlu dikhawatirkan mengganggu kestabilan pasokan pangan,' kata Tatang.

Kapas
Rerumputan sangat memungkinkan dikembangkan sebagai penghasil energi lantaran lebih tahan kekeringan, tahan hama dan penyakit, serta tak mengerosi tanah dibanding tanaman semusim. Jenis rumput yang bisa dimanfaatkan: rumput berbatang besar seperti hanjeli Coix lacryma-jobi; kaso Saccharum spontaneum, glagah Miscanthus sp, dan rumput gajah Pennisetum purpureum. Rumput-rumputan berbatang kecil juga bisa digunakan seperti rumput benggala Panicum maximum, jajagoan Echinochloa/Panicum crusgalli, dan alang-alang Imperata cylindrica.

Limbah kaya lignoselulosa lain yang belum termanfaatkan adalah kulit biji kapas. F.A. Agblevor dari Department of Biological Systems Engineering, Virginia Polytechnic Institute and State University, Blacksburg, di Amerika Serikat, telah memanfaatkan kulit dan biji kapas sebagai bahan baku etanol dengan rendemen 30%. Artinya dari 1 ton kulit biji kapas menghasilkan 360 liter etanol. Menurut Agblevor sebelum diolah, limbah kapas itu harus didiamkan sebulan bulan hingga melunak.

Limbah lignoselulosa lain, jerami padi. Hasil penelitian Seung Do-Kim, peneliti Department of Chemical Engineering & Materials Science, Michigan State University, Amerika Serikat, telah membuktikan 1 kg jerami menghasilkan 0,28 liter etanol atau rendemen 28%. Di Indonesia, satu hektar padi menghasilkan 2 ton jerami. Jika pada 2004 luas lahan padi mencapai 7-juta ha, berarti paling tidak menghasilkan 14-juta ton jerami setara 4,2-juta liter etanol. Cukup besar, bukan?

Tinja
Lignoselulosa memang makanan lezat bagi kendaraan bermotor setelah diolah menjadi etanol. Sayang, teknologi pengolahan serat menjadi etanol masih sulit dan butuh waktu lama. Itulah sebabnya para peneliti dunia mengembangkan jenis ragi selain Sacharomyces cerevisae, ragi pengkonversi etanol dari bahan bergula tinggi.

Penelitian ditempuh periset Delft University of Technology, Belanda bekerja sama dengan Royal Nedalco, produsen etanol di Belanda. Mereka menemukan tinja gajah bisa diproduksi menjadi bahan baku ragi untuk mengkonversi jerami dan limbah lainnya menjadi etanol dengan cepat. Dengan penemuan itu, Royal Nedalco bakal mendirikan pabrik etanol besar-besaran pada 2009 di Sas van Gent, Belanda. 'Di Indonesia teknologi itu belum digunakan. Sangat potensial tetapi butuh riset lebih lanjut,' kata Dr Ir Agus Eko Tjahyono MEng, kepala Balai Besar Teknologi Pati, BPPT.

Dengan ragi asal tinja gajah, tak hanya limbah kaya serat yang digunakan untuk memproduksi bioetanol. Buah kaya gula pun boleh digunakan. Contohnya tomat, cabai, dan nanas. I Del Campo dari Biomass Energy Department, CENER-National Renewable Energy Centre, Spanyol menyatakan tomat mengandung 40,28% gula. Setelah difermentasi menghasilkan 18% etanol.

Cabai merah juga mengandung gula lebih tinggi, 50,20%, dengan rendemen bioetanol yang dihasilkan 20%. Sedangkan nanas berdasarkan riset Biomass Resources Corp di Amerika Serikat menghasilkan 20% etanol. Hasil samping lainnya berupa enzim bromelain, silitol, dan protein yang nilai jualnya tinggi.

Dengan beragam bahan baku bioetanol, kebutuhan premium sebagai bahan bakar kendaraan bermotor yang terus meningkat bisa diimbangi. Itu artinya ketergantungan terhadap minyak fosil bisa dikurangi. Sebab itu, pemanfaatan limbah sebagai bioetanol harus segera diwujudkan.

Jika tidak, pada 2010 diperkirakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral harus mengimpor sebanyak 20% dari konsumsi premium nasional yang mencapai 38,27-miliar liter. 'Ironis, karena Indonesia kaya sumber energi fosil non-BBM,' kata Agus Eko. (Vina Fitriani)

sumber ; Di sadur sesuai aslinya dari trubus

Minggu, 06 April 2008

Sulap Sampah Jadi Bensin

Gundukan limbah sawit itu meninggi setiap hari. Limbah berupa bekas cangkang, serat, pelepah sawit, batang sawit di lahan seluas lapangan sepak bola itu mengeluarkan bau tak sedap. 'Satu pabrik kelapa sawit bisa menghasilkan 100 ton limbah,' kata Isroi, periset Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Limbah tak berfaedah? Sampah itu potensial sebagai pengisi tangki mobil.

Limbah sawit untuk premium mungkin masih terdengar aneh. Namun, 'Limbah kaya biomassa paling potensial saat ini,' kata Agus Eko Tjahyono, kepala Balai Besar Teknologi Pati, BPPT. Limbah sawit kaya selulosa dan hemiselulosa. Tandan kosong kelapa sawit saja masing-masing mengandung 45% selulosa dan 26% hemiselulosa. Tingginya kadar selulosa pada polisakarida itu dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol.

Limbah kelapa sawit jumlahnya melimpah. Sebuah pabrik kelapa sawit (PKS) berkapasitas 60 ton tandan/jam dapat menghasilkan limbah 100 ton/hari. Di Indonesia terdapat 470 pabrik pengolahan kelapa sawit. Limbahnya mencapai 28,7-juta ton dalam bentuk cair dan 15,2-juta ton limbah padat per tahun. 'Jika seluruh limbah sawit diolah menjadi etanol bisa menggantikan seluruh kebutuhan premium,' kata Isroi.

Dr Ronny Purwadi, periset Departemen Teknologi Kimia Institut Teknologi Bandung sukses mengolah limbah kelapa sawit menjadi bioetanol. Ia mencacah tandan konsong kelapa sawit bersama limbah lainnya secara manual. 'Di Indonesia alatnya belum tersedia, di Malaysia sudah dijual bebas,' kata pria kelahiran Bandung itu.

Alumnus Departemen Teknik Kimia, Chalmers University, Swedia itu kemudian memberikan larutan asam sulfat encer berkonsentrasi 1-3% sebagai bagian dari tahap hidrolisis. Proses pemanasan dalam hidrolisis terbagi 2, yaitu pemisahan lignin dan pemisahan lignoselulosa untuk menghasilkan gula.

Untuk memecah lignin, Ronny memanaskan cacahan kelapa sawit pada suhu 120-170oC dengan tekanan 4 bar. Proses berlangsung 0,5-1 jam menggunakan perebus otoklaf. Setelah selesai, hidrolisis berpindah ke otoklaf lainnya. Proses hidrolisis kedua, dengan suhu 240oC selama 45 menit. Hasilnya berupa hidrolisat gula terpisah dari kotoran.

Proses selanjutnya mirip fermentasi bioetanol lain menggunakan mikroba Sacharomycetes cereviceae. Fermentasi dalam fermentor pada pH 5 dan suhu 30oC selama 16-24 jam. Pengadukan dan pemanasan harus kontinu agar suhu dan pH stabil. 'Rendemen yang diperoleh sekitar 12%,' kata Ronny. Artinya dari 1 ton limbah kelapa sawit dihasilkan 120 liter bioetanol.

Selain tandan kelapa sawit, bahan baku bioetanol lain: jerami padi. 'Secara garis besar pengolahan limbah yang berasal dari serat sama,' kata Isroi. Jerami padi kaya selulosa dan hemiselulosa masing-masing 39% dan 27,5%. Oleh sebab itu ia mengujicoba jerami sebagai bahan baku bioetanol. Ia mengumpulkan 10 ton jerami padi segar di ruang terbuka. Batang padi kemudian dipotong kecil-kecil, 0.5-1 cm.

Cacahan jerami kemudian direndam kapur 0,5% selama 1-2 minggu. Alumnus pascasarjana IPB itu menghidrolisis bahan dengan mencampurkan asam sulfat berkonsentrasi 1-5% dan suhu hingga 180oC. Setelah itu prosesnya mirip fermentasi bioetanol pada umumnya. Mikroba yang digunakan ragi roti alias Sacharomycetes cereviceae. Mikroba lain harus mampu mengkonversi silosa berupa selulosa dan hemiselulosa berantai karbon 5 menjadi bioetanol. 'Untuk itu, saya menyeleksi ribuan mikroorganisme,' kata Isroi.

Setelah hidrolisat difermentasi selama 16-24 jam, tahap berikutnya purifikasi etanol. Proses purifikasi etanol ini sama dengan purifikasi ethanol dari singkong. Prosesnya meliputi destilasi dan dehidrasi. Proses destilasi meningkatkan kandungan etanol hingga 95%. Sisa air dihilangkan dengan proses dehidrasi hingga kandungan etanol mencapai 99.5%. Etanol siap dimasukkan ke tangki kendaraan bermotor. Rendemennya mencapai 7,65%.

Itu artinya, jika produksi jerami padi 10-15 ton/ha berkadar air 60%, bisa diolah menjadi 766-1.148 liter etanol/ha. 'Biaya produksinya pun lebih rendah dibandingkan mengimpor etanol,' kata Isroi. Menurut data BPS pada 2006, luas sawah di Indonesia 11,9-juta ha. Artinya, potensi jerami padi 119-juta ton yang berpotensi menghasilkan lebih dari 9,1-miliar liter etanol. Jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional.

Di Indonesia penelitian pengolahan limbah selulosa menjadi etanol masih sangat minim. 'Swedia telah memproduksi bioetanol dari limbah pulp kertas,' kata Ronny, yang berguru pada Prof J M Taherzadeh, ahli etanol selulosik dunia. Swedia memulai riset etanol berbasis selulosa semenjak 1995 pada skala laboratorium. Lantas, sejak 2005 negara itu membuat pilot plant skala kecil dengan memproduksi 200 l/hari. 'Jumlah itu cukup lantaran jumlah mobil masih sedikit,' kata Ronny. Harganya pun murah: 5 krone alias Rp6.000/liter.

Sedangkan di Amerika, para peneliti menganalisis ongkos produksi etanol asal selulosik dan dari biji-bijian. Mark Wright dan Robert Brown periset Iowa State University, Amerika Serikat dalam penelitiannya menunjukkan produksi bahan bakar asal biji-bijian secara konvensional meningkat US$9 sen/liter. Itu lantaran harga bahan baku menjulang. Sedangkan biaya produksi etanol selulosik turun US$9,5 sen/liter karena kemajuan teknologi.

Indonesia kaya dengan matahari dan air, sehingga tanaman selulosa mudah tumbuh. Jika didukung penelitian memadai, produksi bioetanol selulosik efektif untuk dikembangkan. 'Limbah biomassa paling potensial karena tidak bersaing dengan pangan,' kata Meine van Noordwijk, direktur regional International Centre for Research in Agroforestry, Bogor.

Produksi bioetanol dari limbah tak butuh penanaman khusus sehingga tidak perlu perluasan lahan dan penggunaan pupuk kimia. Selain itu, penggunaan limbah juga membantu mengatasi permasalahan lingkungan seperti polusi air, udara, dan tanah. (Vina Fitriani/Peliput: Faiz Yajri)

Sumber: Disadur sesuai aslinya dari trubus

Terowongan Pengatrol Kadar Etanol

Inilah terowongan mini yang mampu menaikkan kadar etanol hingga 99,8%. Terowongan itu terbuat dari pipa PVC berdiameter 10 cm. Di dalamnya terdapat membran berbahan baku polivinilalkohol yang mirip kabel. Bioetanol yang melewati terowongan itu akan melonjak kadar kemurniannya sehingga bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar.
Teknologi membran untuk mendongkrak kadar etanol itu kreasi Dr I Gede Wenten MSc, dosen Teknologi Kimia Institut Teknologi Bandung. Ahli filtrasi itu memanfaatkan polivinilalkohol dan kitosan sebagai bahan baku membran. Keduanya bersifat hidrofilik alias tidak menyerap air sehingga selektif terhadap air dan tidak mudah mengembang. Yang digunakan adalah membran tidak berpori sehingga hanya uap air yang mampu melewatinya, sedangkan larutan etanol ditolak oleh membran.
'Metode yang digunakan bernama pervaporasi. Cara ini dapat memisahkan semua campuran uap-cair dengan berbagai konsentrasi,' kata peraih Suttle Award, penghargaan tertinggi dari Filtration Society di London, Inggris. Sepintas terlihat seperti filtrasi dengan membran. Sebab, pervaporasi merupakan proses pemisahan suatu campuran dengan perubahan bentuk dari cair menjadi uap pada sisi membran. Letak perbedaannya, teknik pemisahan berbasis membran ini bekerja berdasarkan mekanisme difusi larutan. Beda bentuk
Begini cara kerjanya. Bioetanol berkadar 95% dipanaskan pada suhu 75oC sehingga air dalam bioetanol berubah menjadi uap air. Dengan tekanan 5 bar vakum, etanol dan uap air masuk ke membran berkecepatan 1,5 x 10-4m/s. Di dalam membran filtrasi, dua zat yang berbeda fasa itu mengalami difusi alias perpindahan zat dari konsentrasi tinggi ke rendah.
Dalam teknik pervaporasi ini uap air akan melewati membran. Sedangkan bioetanol ditolak karena membran tidak berpori. Pori itu diibaratkan pintu, Nah, karena membran tak berpori, terowongan itu tanpa pintu keluar. Dampaknya bioetanol tak dapat melewatinya. Hanya gas yang bisa menerobos. Selektivitas dan laju pemisahan pervaporasi sangat bergantung pada karakteristik membran, konfigurasi modul, dan desain proses. Itu artinya jenis membran yang digunakan mesti berkarakter mampu menyeleksi gas dan etanol yang masuk.
Di ujung membran, uap air diserap oleh vakum. Selanjutnya uap air masuk ke gelas bertadah wadah berisi nitrogen cair. Nitrogen cair dipilih karena memiliki titik didih pada suhu -195,80C. Dengan suhu yang sangat dingin, nitrogen cair mempunyai kemampuan membekukan bahan organik lebih efektif daripada pendingin berbahan amonia ataupun freon.
Itu sebabnya saat menyentuh larutan nitrogen cair, uap air kembali menjadi air. Sedangkan etanol tidak melewati membran, cairannya langsung dialirkan ke gelas penadah etanol murni. Karena semua uap air yang terkandung sudah diserap, 'Dengan metode ini dipastikan bioetanol yang dihasilkan fuel grade etanol alias sesuai standar mutu bahan bakar yang berkadar etanol 99,8%,' kata alumnus Denmark Technical University (DTU), Kopenhagen, itu. Efektif-efisien
Untuk meningkatkan kadar etanol, teknologi membran lebih efektif. Bandingkan dengan cara konvensional berupa destilasi dan dehidrasi. Ketika proses destilasi, bioetanol membentuk azeotrop. Artinya, antara etanol dan air yang terkandung sulit dipisahkan. Destilasi dengan meninggikan kolom sekali pun, air sulit diceraikan dari etanol. Memang masih ada sebuah cara untuk menarik air yaitu dengan menambahkan zat toluen.
Toluen sohor sebagai pelarut air. Ketika zat itu ditambahkan sesuai dengan kadar air yang terkandung, air akan tertarik. Namun, tetap saja masih ada air tersisa. Celakanya sebagian zat toluen itu juga bercampur dengan bioetanol menjadi kontaminan. Sebaliknya, teknologi membran mempunyai beberapa keistimewaan seperti menghasilkan bioetanol berkualitas tinggi. Selain itu produsen juga mudah mengoperasikan, ramah lingkungan, dan ukuran alat yang lebih kecil. Satu lagi keistimewaan membran: hemat energi. Alat berkapasitas 50 liter per hari, membran hanya membutuhkan energi listrik sebesar 1.000 watt. Tahan lama
Artinya biaya itu jauh lebih murah ketimbang teknologi gamping. Gamping alias kalsium karbonat acap dimanfaatkan sebagai penyerap air untuk mengatrol kadar etanol. Pelaksanaannya memang mudah. Produsen tinggal mencelupkan 1 kg gamping ke dalam wadah berisi 4 liter bioetanol. Sayang, bukan cuma air yang terserap, tetapi juga bioetanol. Kehilangan bioetanol akibat serapan gamping mencapai 30%. 'Alkohol tak dapat keluar lagi lantaran terikat pada pori-pori gamping,' ujar Soekaeni, produsen bioetanol di Sukabumi, Jawa Barat.
Di negara-negara maju, teknologi pervaporasi berkembang sangat pesat dan telah diterapkan besar-besaran dalam skala industri. Namun di Indonesia, teknologi membran relatif baru sehingga penerapannya dalam skala industri masih terbatas. 'Dengan skala proses kecil, cara kerja mudah, dan tahan hingga 5 tahun, sudah seharusnya produsen bioetanol skala kecil menerapkannya,' kata I Gede Wenten. Dengan begitu, kualitas meningkat dan harga pun melonjak. (Vina Fitriani).

sumber: trubus

Minggu, 16 Maret 2008

hubungi kami

maaf dalam perbaikan

Referensi

Teknologi pengolahan etanol oleh Tony Ackland

Minggu, 13 Januari 2008

Energi Bioetanol Bisa Hemat Devisa Rp 16 Triliun per Tahun

TEMPO Interaktif, Bandar Lampung: Presiden Susilo Bambang Yudoyono mengatakan dua persoalan terpenting bangsa Indonesia saat ini adalah masalah pangan dan sumber energi.
Keduanya, kata dia, akan menjadi prioritas strategi pemerintahan ke depan. "Selain pangan, strategi pemerintahan adalah mengembangkan energi alternatif," kata Presiden saat meresmikan pabrik bioetanol milik PT Indo Lampung Destellery di Lampung Tengah Senin (26/2) sore.
Presiden mengatakan, saat ini sudah mendesak untuk segera dicari sumber energi alternatif, yang tidak hanya tergantung pada sumber energi fosil. Sebab, sumber energi fosil seperti minyak bumi, gas, dan batu bara, semakin terbatas. "Kita harapkan bioetanol bisa menjadi energi yang bisa memenuhi kebutuhan bakar bakar Indonesia di masa yang akan datang," ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Presiden Direktur PT Sugar Group Companies Gunawan Yusuf, yang membawahi PT Indo Lampung, mengatakan saat ini perusahaannya bisa menghasilkan 70 juta liter bioetanol per tahun. Jumlah itu cukup fantastis, karena merupakan terbesar di Asia Tenggara.
Gunawan menambahkan, untuk mewujudkan energi murah diperlukan lahan 600 ribu hektare tebu siap panen, sebagai bahan dasar bioetanol. "Dengan luas lahan seperti itu, Indonesia bisa menghemat devisa Rp 16 triliun per tahun dan pajak Rp 7,5 miliar per tahun," ujarnya.

sumber : http://www.tempointeraktif.com/

Senin, 07 Januari 2008

Hitung Untung Produksi Bioetanol

Bahan Baku Singkong

Indonesia berpotensi sebagai produsen bioetanol terbesar di dunia. Menurut Dr Ir Arief Yudiarto, periset di Balai Besar Teknologi Pati, ada 3 kelompok tanaman sumber bioetanol: tanaman mengandung pati, bergula, dan serat selulosa. 'Seluruhnya ada di Indonesia,' ujarnya.
Singkong tanaman itu adaptif di berbagai daerah. Itulah sebabnya singkong menjadi salah satu pilihan bahan baku. Kerabat euphorbia itu salah satu sumber pati. Rata-rata kadar pati singkong 28,5%. Untuk menghasilkan seliter bietanol perlu 6,5 kg singkong. Berikut analisis usaha produksi bioetanol dari kedua bahan baku.
Asumsi:
Lahan yang digunakan untuk produksi adalah milik sendiri, bukan sewa.
Umur ekonomis mesin produksi bioetanol 10 tahun.
Umur ekonomis zeolit lokal 500 kali pemakaian setara 500 hari.
Jam kerja produksi 8 jam/hari.
Harga jual bioetanol berkadar 99% Rp5.500 per liter.
Tingkat suku bunga Bank Indonesia saat perhitungan 8%.
Kapasitas produksi 70 liter per hari.
Bioetanol yang dihasilkan berkadar 99%
Dari analisis di atas dapat disimpulkan, dengan tingkat keuntungan 19%, produksi bioetanol berbahan baku singkong layak diusahakan karena lebih menguntungkan daripada menyimpan dana di bank dengan tingkat bunga Bank Indonesia per 6 Desember 2007 sebesar 8%. Investasi yang ditanamkan untun usaha produksi bioetanol kembali setelah 6 tahun 9 bulan.





Teknologi Etanol - Web Referensi


Sebagai pemula, untuk memahami teknologi etanol terkini ada baiknya anda membuka website ini, semua dimulai dari dasar dan dilengkapi dengan ilustrasi-ilustrasi yang lengkap dan jelas.
http://www.stillcooker.com/
Website ini memfokuskan pada bidang destilasi, mulai dari persiapan bahan baku, desain dan perencanaan alat destilasi, cara kerja alat destilasi, penjual alat destilasi, dan sumber-sumber lain yang membahas tentang destilasi.Pembahasannya sangat mudah untuk dipahami.http://homedistiller.org/
Website -website lain yang perlu anda kunjungi
http://journeytoforever.org/biofuel_library/ethanol_motherearth/meToC.html
http://www.home-distilling.com/

Jumat, 04 Januari 2008

mesin bio-etanol kapasitas 100 L per hari

Berikut ini adalah spesifikasi mesin bio-etanol kapasitas 100 L perhari dengan kisaran harga sekitar Rp 60 jt. alat ini cocok untuk industri rumahan karena membutuhkan ruang proses cuma 6 x 6m
1 Parutan Ubi Kayu kapasitas 100 kg /jam (1 unit)
2 Receiver kapasitas 50 lt dari tangki plastik (2 unit)
3 Cooking Tank kapasitas 100 lt dari besi (2 unit)
4 Tangki Sakarifikator kapasitas 100 lt dari besi (2 unit)
5 Heat Exchanger panjang = 2 m dari besi (2 unit)
6 Pompa Medium kapasitas 10 lt /menit (2 unit)
7 Tangki Fermentor kap. 200 lt dari tangki plastik (4 unit)
8 Pompa Fermentor kap. Q = 40 l/m dan H = 18 m (1 unit)
9 Saringan ,Broth Pit Mesh dan pompa kap. 100 ;1..200 x 600 (1 unit)

10 Broth Pit kapasitas 2 x 100 lt dari tangki plastik
11 Broth Pump kapasitas Q = 40 l/m dan H = 18 m (1unit)
12 Broth Tank kapasitas 1,1 m3 dari tangki plastik (1 unit)
13 Feed Pump kapasitas Q = 40 l/m dan H = 18 m (1 unit)
14 Evaporator kapasitas 100 Lt dari besi (2 unit)
15 Kolom distilasi Kapasitas s/d 100 lt dari besi (2 unit)
16 Tandon Air kapasitas 1,1 m3 dari tangki plastik (1 unit)
17 Pompa Air Pendingin HE kap. Q = 40 l/m dan H = 18 m (1 unit)
18 pH meter ,Alkohol Meter , Spg meter (@=1)
19
Tangki air pendingin kolom destilasi kap. 100 L dari tangki plastik (1)
20 Termometer

Sebelum anda memutuskan untuk memulai usaha pembuatan etanol ini, perlu di pertimbangkan:

  1. Analisa usaha dalam menggunakan produk ini.
  2. harga bahan baku, suplai bahan baku, karena harga dan suplai ubi kayu di berbagai daerah berfluktuasi.
  3. kemana etanol akan dijual? untuk skala kecil bisa dijual ke industri farmasi, industri kimia, atau diproses lebih lanjut menjadi FGE (etanol 99,5%) dan dijual untuk BBM.

sumber : www.anekaindustri.com

Selasa, 01 Januari 2008

Pabrik Bio-etanol Terbesar Siap Dibangun

TEMPO Interaktif, Bandung:Produsen bio-etanol dari Korea Selatan, LBL Network Ltd menandatangi nota kesepahaman dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Pemerintah Kabupaten Kuningan, Subang, Sumedang, dan Indramayu untuk membangun pabrik pemroses ubi kayu menjadi bio-etanol di Jawa Barat. Bio-etanol merupakan bahan campuran untuk premium.Pemerintah Jawa Barat akan memfasilitasi masyarakat di Kuningan, Subang, Sumedang, dan Indramayu menanam ubi kayu sepsies Manihot Esculanta Trans. Empat daerah ini menjadi basis penanaman ubi. "Proyek ini untuk mengembangkan industri bio-etanol," kata Presiden & CEO LBL Network Co. Ltd. Kang Yong Soo di Bandung pada Kamis (30/11). Dalam operasinya, perusahaan Korea Selatan ini menggandeng PT Mitra Sae International sebagai pelaksanaka joint operation pengembangan pabrik bio-premium. Bahan ini merupakan hasil campuran antara Premium dan 5 persen etanol dari bahan baku ubi kayu. Menurut Direktur PT Mitra Sae International Tony Firmansyah, pabrik yang dibangun memiliki kapasitas produksi 200 juta liter etanol per tahun. Lokasinya di sekitar Indramayu, Sumedang, atau Subang. Total investasi, termasuk working capital mencapai 100 juta dolar Amerika. “Ini industri bio-etanol terbesar di Indonesia,” katanya. Untuk mencapai target produksi itu, kata dia, dibutuhkan bahan baku ubi kayu segar sebanyak 1,2 juta ton per tahun. Lahan untuk menghasilkan ubi kayu segar itu diperkerikan sekitar 23 ribu hektare. Tapi, untuk menjaga kelangsungan produksi ubi kayu dibutuhkan lahan seluas 50 ribu hektar. Wakil Gubernur Jawa Barat Nu'man Abdul Hakim meminta empat daerah tadi tidak menggunakan lahan produktif untuk menanam ubi kayu. "Jangan melakukan alih fungsi lahan produktif ke ubi," katanya. Penyediaan lahan akan memakai konsep inti plasma yakni masyarakat dilibatkan menanam ubi dan bukan dengan membebaskan lahan. Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Jawa Barat Asep S Abdie meminta lahan untuk ubi kayu berada di tanah landai. Selain itu pola penanaman ubi harus dengan cara diselang agar tidak merusak tanah. ahmad fikri

sumber : tempo interaktif