Minggu, 06 April 2008

Sulap Sampah Jadi Bensin

Gundukan limbah sawit itu meninggi setiap hari. Limbah berupa bekas cangkang, serat, pelepah sawit, batang sawit di lahan seluas lapangan sepak bola itu mengeluarkan bau tak sedap. 'Satu pabrik kelapa sawit bisa menghasilkan 100 ton limbah,' kata Isroi, periset Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Limbah tak berfaedah? Sampah itu potensial sebagai pengisi tangki mobil.

Limbah sawit untuk premium mungkin masih terdengar aneh. Namun, 'Limbah kaya biomassa paling potensial saat ini,' kata Agus Eko Tjahyono, kepala Balai Besar Teknologi Pati, BPPT. Limbah sawit kaya selulosa dan hemiselulosa. Tandan kosong kelapa sawit saja masing-masing mengandung 45% selulosa dan 26% hemiselulosa. Tingginya kadar selulosa pada polisakarida itu dapat dihidrolisis menjadi gula sederhana dan selanjutnya difermentasi menjadi etanol.

Limbah kelapa sawit jumlahnya melimpah. Sebuah pabrik kelapa sawit (PKS) berkapasitas 60 ton tandan/jam dapat menghasilkan limbah 100 ton/hari. Di Indonesia terdapat 470 pabrik pengolahan kelapa sawit. Limbahnya mencapai 28,7-juta ton dalam bentuk cair dan 15,2-juta ton limbah padat per tahun. 'Jika seluruh limbah sawit diolah menjadi etanol bisa menggantikan seluruh kebutuhan premium,' kata Isroi.

Dr Ronny Purwadi, periset Departemen Teknologi Kimia Institut Teknologi Bandung sukses mengolah limbah kelapa sawit menjadi bioetanol. Ia mencacah tandan konsong kelapa sawit bersama limbah lainnya secara manual. 'Di Indonesia alatnya belum tersedia, di Malaysia sudah dijual bebas,' kata pria kelahiran Bandung itu.

Alumnus Departemen Teknik Kimia, Chalmers University, Swedia itu kemudian memberikan larutan asam sulfat encer berkonsentrasi 1-3% sebagai bagian dari tahap hidrolisis. Proses pemanasan dalam hidrolisis terbagi 2, yaitu pemisahan lignin dan pemisahan lignoselulosa untuk menghasilkan gula.

Untuk memecah lignin, Ronny memanaskan cacahan kelapa sawit pada suhu 120-170oC dengan tekanan 4 bar. Proses berlangsung 0,5-1 jam menggunakan perebus otoklaf. Setelah selesai, hidrolisis berpindah ke otoklaf lainnya. Proses hidrolisis kedua, dengan suhu 240oC selama 45 menit. Hasilnya berupa hidrolisat gula terpisah dari kotoran.

Proses selanjutnya mirip fermentasi bioetanol lain menggunakan mikroba Sacharomycetes cereviceae. Fermentasi dalam fermentor pada pH 5 dan suhu 30oC selama 16-24 jam. Pengadukan dan pemanasan harus kontinu agar suhu dan pH stabil. 'Rendemen yang diperoleh sekitar 12%,' kata Ronny. Artinya dari 1 ton limbah kelapa sawit dihasilkan 120 liter bioetanol.

Selain tandan kelapa sawit, bahan baku bioetanol lain: jerami padi. 'Secara garis besar pengolahan limbah yang berasal dari serat sama,' kata Isroi. Jerami padi kaya selulosa dan hemiselulosa masing-masing 39% dan 27,5%. Oleh sebab itu ia mengujicoba jerami sebagai bahan baku bioetanol. Ia mengumpulkan 10 ton jerami padi segar di ruang terbuka. Batang padi kemudian dipotong kecil-kecil, 0.5-1 cm.

Cacahan jerami kemudian direndam kapur 0,5% selama 1-2 minggu. Alumnus pascasarjana IPB itu menghidrolisis bahan dengan mencampurkan asam sulfat berkonsentrasi 1-5% dan suhu hingga 180oC. Setelah itu prosesnya mirip fermentasi bioetanol pada umumnya. Mikroba yang digunakan ragi roti alias Sacharomycetes cereviceae. Mikroba lain harus mampu mengkonversi silosa berupa selulosa dan hemiselulosa berantai karbon 5 menjadi bioetanol. 'Untuk itu, saya menyeleksi ribuan mikroorganisme,' kata Isroi.

Setelah hidrolisat difermentasi selama 16-24 jam, tahap berikutnya purifikasi etanol. Proses purifikasi etanol ini sama dengan purifikasi ethanol dari singkong. Prosesnya meliputi destilasi dan dehidrasi. Proses destilasi meningkatkan kandungan etanol hingga 95%. Sisa air dihilangkan dengan proses dehidrasi hingga kandungan etanol mencapai 99.5%. Etanol siap dimasukkan ke tangki kendaraan bermotor. Rendemennya mencapai 7,65%.

Itu artinya, jika produksi jerami padi 10-15 ton/ha berkadar air 60%, bisa diolah menjadi 766-1.148 liter etanol/ha. 'Biaya produksinya pun lebih rendah dibandingkan mengimpor etanol,' kata Isroi. Menurut data BPS pada 2006, luas sawah di Indonesia 11,9-juta ha. Artinya, potensi jerami padi 119-juta ton yang berpotensi menghasilkan lebih dari 9,1-miliar liter etanol. Jumlah itu cukup untuk memenuhi kebutuhan bensin nasional.

Di Indonesia penelitian pengolahan limbah selulosa menjadi etanol masih sangat minim. 'Swedia telah memproduksi bioetanol dari limbah pulp kertas,' kata Ronny, yang berguru pada Prof J M Taherzadeh, ahli etanol selulosik dunia. Swedia memulai riset etanol berbasis selulosa semenjak 1995 pada skala laboratorium. Lantas, sejak 2005 negara itu membuat pilot plant skala kecil dengan memproduksi 200 l/hari. 'Jumlah itu cukup lantaran jumlah mobil masih sedikit,' kata Ronny. Harganya pun murah: 5 krone alias Rp6.000/liter.

Sedangkan di Amerika, para peneliti menganalisis ongkos produksi etanol asal selulosik dan dari biji-bijian. Mark Wright dan Robert Brown periset Iowa State University, Amerika Serikat dalam penelitiannya menunjukkan produksi bahan bakar asal biji-bijian secara konvensional meningkat US$9 sen/liter. Itu lantaran harga bahan baku menjulang. Sedangkan biaya produksi etanol selulosik turun US$9,5 sen/liter karena kemajuan teknologi.

Indonesia kaya dengan matahari dan air, sehingga tanaman selulosa mudah tumbuh. Jika didukung penelitian memadai, produksi bioetanol selulosik efektif untuk dikembangkan. 'Limbah biomassa paling potensial karena tidak bersaing dengan pangan,' kata Meine van Noordwijk, direktur regional International Centre for Research in Agroforestry, Bogor.

Produksi bioetanol dari limbah tak butuh penanaman khusus sehingga tidak perlu perluasan lahan dan penggunaan pupuk kimia. Selain itu, penggunaan limbah juga membantu mengatasi permasalahan lingkungan seperti polusi air, udara, dan tanah. (Vina Fitriani/Peliput: Faiz Yajri)

Sumber: Disadur sesuai aslinya dari trubus

Terowongan Pengatrol Kadar Etanol

Inilah terowongan mini yang mampu menaikkan kadar etanol hingga 99,8%. Terowongan itu terbuat dari pipa PVC berdiameter 10 cm. Di dalamnya terdapat membran berbahan baku polivinilalkohol yang mirip kabel. Bioetanol yang melewati terowongan itu akan melonjak kadar kemurniannya sehingga bisa langsung digunakan sebagai bahan bakar.
Teknologi membran untuk mendongkrak kadar etanol itu kreasi Dr I Gede Wenten MSc, dosen Teknologi Kimia Institut Teknologi Bandung. Ahli filtrasi itu memanfaatkan polivinilalkohol dan kitosan sebagai bahan baku membran. Keduanya bersifat hidrofilik alias tidak menyerap air sehingga selektif terhadap air dan tidak mudah mengembang. Yang digunakan adalah membran tidak berpori sehingga hanya uap air yang mampu melewatinya, sedangkan larutan etanol ditolak oleh membran.
'Metode yang digunakan bernama pervaporasi. Cara ini dapat memisahkan semua campuran uap-cair dengan berbagai konsentrasi,' kata peraih Suttle Award, penghargaan tertinggi dari Filtration Society di London, Inggris. Sepintas terlihat seperti filtrasi dengan membran. Sebab, pervaporasi merupakan proses pemisahan suatu campuran dengan perubahan bentuk dari cair menjadi uap pada sisi membran. Letak perbedaannya, teknik pemisahan berbasis membran ini bekerja berdasarkan mekanisme difusi larutan. Beda bentuk
Begini cara kerjanya. Bioetanol berkadar 95% dipanaskan pada suhu 75oC sehingga air dalam bioetanol berubah menjadi uap air. Dengan tekanan 5 bar vakum, etanol dan uap air masuk ke membran berkecepatan 1,5 x 10-4m/s. Di dalam membran filtrasi, dua zat yang berbeda fasa itu mengalami difusi alias perpindahan zat dari konsentrasi tinggi ke rendah.
Dalam teknik pervaporasi ini uap air akan melewati membran. Sedangkan bioetanol ditolak karena membran tidak berpori. Pori itu diibaratkan pintu, Nah, karena membran tak berpori, terowongan itu tanpa pintu keluar. Dampaknya bioetanol tak dapat melewatinya. Hanya gas yang bisa menerobos. Selektivitas dan laju pemisahan pervaporasi sangat bergantung pada karakteristik membran, konfigurasi modul, dan desain proses. Itu artinya jenis membran yang digunakan mesti berkarakter mampu menyeleksi gas dan etanol yang masuk.
Di ujung membran, uap air diserap oleh vakum. Selanjutnya uap air masuk ke gelas bertadah wadah berisi nitrogen cair. Nitrogen cair dipilih karena memiliki titik didih pada suhu -195,80C. Dengan suhu yang sangat dingin, nitrogen cair mempunyai kemampuan membekukan bahan organik lebih efektif daripada pendingin berbahan amonia ataupun freon.
Itu sebabnya saat menyentuh larutan nitrogen cair, uap air kembali menjadi air. Sedangkan etanol tidak melewati membran, cairannya langsung dialirkan ke gelas penadah etanol murni. Karena semua uap air yang terkandung sudah diserap, 'Dengan metode ini dipastikan bioetanol yang dihasilkan fuel grade etanol alias sesuai standar mutu bahan bakar yang berkadar etanol 99,8%,' kata alumnus Denmark Technical University (DTU), Kopenhagen, itu. Efektif-efisien
Untuk meningkatkan kadar etanol, teknologi membran lebih efektif. Bandingkan dengan cara konvensional berupa destilasi dan dehidrasi. Ketika proses destilasi, bioetanol membentuk azeotrop. Artinya, antara etanol dan air yang terkandung sulit dipisahkan. Destilasi dengan meninggikan kolom sekali pun, air sulit diceraikan dari etanol. Memang masih ada sebuah cara untuk menarik air yaitu dengan menambahkan zat toluen.
Toluen sohor sebagai pelarut air. Ketika zat itu ditambahkan sesuai dengan kadar air yang terkandung, air akan tertarik. Namun, tetap saja masih ada air tersisa. Celakanya sebagian zat toluen itu juga bercampur dengan bioetanol menjadi kontaminan. Sebaliknya, teknologi membran mempunyai beberapa keistimewaan seperti menghasilkan bioetanol berkualitas tinggi. Selain itu produsen juga mudah mengoperasikan, ramah lingkungan, dan ukuran alat yang lebih kecil. Satu lagi keistimewaan membran: hemat energi. Alat berkapasitas 50 liter per hari, membran hanya membutuhkan energi listrik sebesar 1.000 watt. Tahan lama
Artinya biaya itu jauh lebih murah ketimbang teknologi gamping. Gamping alias kalsium karbonat acap dimanfaatkan sebagai penyerap air untuk mengatrol kadar etanol. Pelaksanaannya memang mudah. Produsen tinggal mencelupkan 1 kg gamping ke dalam wadah berisi 4 liter bioetanol. Sayang, bukan cuma air yang terserap, tetapi juga bioetanol. Kehilangan bioetanol akibat serapan gamping mencapai 30%. 'Alkohol tak dapat keluar lagi lantaran terikat pada pori-pori gamping,' ujar Soekaeni, produsen bioetanol di Sukabumi, Jawa Barat.
Di negara-negara maju, teknologi pervaporasi berkembang sangat pesat dan telah diterapkan besar-besaran dalam skala industri. Namun di Indonesia, teknologi membran relatif baru sehingga penerapannya dalam skala industri masih terbatas. 'Dengan skala proses kecil, cara kerja mudah, dan tahan hingga 5 tahun, sudah seharusnya produsen bioetanol skala kecil menerapkannya,' kata I Gede Wenten. Dengan begitu, kualitas meningkat dan harga pun melonjak. (Vina Fitriani).

sumber: trubus